Namun itu adalah sebuah pertempuran yang tak seimbang : kulit makhluk itu terlalu tebal dan terlalu berotot. Makhluk itu menghempaskan Krohn dari satu sisi ke sisi lainnya dan meleparkannya ke dalam air. Sementara itu makhluk mirip gurita semakin keras mencengkeram kaki Thor; sangat kuat sampai Thor merasa kehilangan oksigen. Tentakel itu membuatnya merasa terbakar, dan Thor merasa kakinya seperti hendak dicerabut dari tubuhnya.
Akhirnya, dengan putus asa, Thor membiarkan tangan seorang bocah yang hendak meraihnya dan pada saat yang sama bergerak ke samping, mencoba peraih pedang pendek di ikat pinggangnya.
Akan tetapi ia tak dapat meraihnya tepat waktu; ia tergelincir dan terjatuh dengan wajah pertama kali menghempas ke air.
Thor merasakan dirinya ditarik semakin jauh dari perahu. Makhluk itu menariknya semakin jauh ke dalam lautan. Ia ditarik ke belakang semakin cepat, dan ia menggapai-nggapai tanpa daya. Thor melihat perahu menghilang dari matanya. Berikutnya ia mengetahui dirinya telah ditarik jauh dari permukaan air, menuju kedalaman Laut Api.
BAB SEMBILAN
Gwendolyn berlari di padang rumput terbuka. Ayahnya, Raja MacGil, ada di sampingnya. Ia masih kecil, dan ayahnya juga tampak lebih muda. Jenggotnya pendek, dan tak ada jejak kelabu yang akan dimilikinya di kemudian hari, dan kulitnya bebas dari kerutan, lebih kencang dan bersinar. Ia tampak bahagia, tanpa beban dan tertawa lepas ketika ia memegang tangan putrinya dan berlari bersamanya di padang rumput. Inilah ayahnya dalam ingatan Gwendolyn.
Ia mengangkat dan menggendongnya di bahunya, berputar bersamanya lagi dan lagi, tertawa semakin keras dan Gwendolyn tertawa geli. Ia merasa aman dalam pelukan ayahnya, dan ia ingin saat ini tak pernah berakhir.
Namun ketika ayahnya menurunkan tubuhnya, sesuatu yang aneh terjadi. Mendadak hari berubah dari siang hari yang cerah menjadi senja. Ketika kaki Gwen menyentuh tanah, keduanya tak lagi menyentuh bunga-bunga di padang rumput. Namun terjebak dalam lumpur, hingga ke betisnya. Ayahnya kini terbaring di atas lumpur, beberapa kaki darinya – ia berubah menjadi tua, lebih tua dan sangat tua – dan ia terjebak di dalamnya. Di kejauhan tergoleklah makhkotanya yang berkilauan di tengah lumpur.
“Gwendolyn,” nafas ayahnya megap-megap. “Putriku. Tolonglah aku.”
Ia mengangkat tangannya, berusaha menggapai Gwendolyn dengan putus asa.
Gwendolyn berusaha keras untuk menolong ayahnya. Ia mencoba mendekatinya, untuk meraih tangan ayahnya. Namun kaki Gwen tak dapat digerakkan. Ia memandang ke bawah dan melihat lumpur di sekitarnya mulai mengeras, mengering dan memecah. Ia meronta-ronta, berusaha untuk membebaskan diri.
Gwen mengejapkan mata dan menemukan dirinya berdiri di dinding jembatan kastil. Ia memandangi ke bawah, ke Istana Raja. Ada sesuatu yang salah saat itu. Ia tidak melihat kemegahan dan keramaian seperti biasanya, namun kuburan yang terhampar luas. Apa yang tadinya adalah pelataran Istana Raja yang megah dan berkilauan kini telah berubah menjadi pemakaman, sejauh mata memandang.
Ia mendengar suara langkah kaki yang diseret, dan jantungnya berhenti berdetak ketika ia berputar dan melihat seorang pembunuh, mengenakan jubah dan tudung hitam, mendekatinya. Ia berlari cepat ke arah Gwen sampai tudung kepalanya terlepas dan menyingkapkan wajahnya yang buruk rupa, satu matanya hilang, meninggalkan bekas rongga yang dalam. Ia mendengus, mengangkat satu tangan yang memegang belati dengan hulu merah berkilauan.
Ia bergerak terlalu cepat dan Gwen tak dapat mendahuluinya. Ia meringkuk, sadar bahwa ia akan terbunuh seketika belati itu dihujamkan dengan kekuatan penuh.
Belati itu berhenti mendadak, hanya beberapa inci dari wajahnya. Gwen membuka matanya dan ia melihat ayahnya, yang telah menjadi mayat, menangkap pergelangan tangan pembunuh itu di udara. Ia mencengkeram tangan si pembunuh sampai ia menjatuhkan pisaunya, lalu menyentakkan bahu si pembunuh dan melemparkannya dari jembatan. Gwen mendengar teriakannya ketika ia melayang jatuh ke bawah.
Ayahnya berbalik dan memandangi ke arahnya; ia memegang bahunya keras dengan tangannya yang telah membusuk dan pandangan dingin.
“Di sini berbahaya untukmu,” ia memperingatkan. “Berbahaya!” teriak ayahnya, tangannya mencengkeram bahu Gwen terlalu kuat, sampai ia menjerit kesakitan.
Gwen terbangun sambil menjerit. Ia terduduk di tempat tidur, melihat ke sekeliling kamarnya, waswas terhadap kehadiran seorang penyerang.
Namun tak ada sesuatu pun di situ – hanya keheningan yang dalam menjelang fajar.
Dengan berkeringat dan nafas tersengal-sengal ia melompat dari tempat tidur, mengenakan gaun tidur dan bergegas keluar dari kamarnya. Ia berlari menuju sebuah wadah terbuat dari batu dan memercikkan air ke wajahnya berulang kali. Ia bersandar ke dinding, merasakan dinginnya batu di telapak kakinya di pagi musim panas yang hangat dan mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Mimpi itu terlalu nyata. Ia merasa itu lebih dari sekedar mimpi – sebuah peringatan dari ayahnya, sebuah pesan. Ia merasa harus segera meninggalkan Istana Raja sekarang, dan tak pernah kembali.
Ia tahu ia tak dapat melakukan itu. Ia harus menenangkan diri untuk mendapatkan kembali kecermelangan otaknya. Namun tiap kali ia mengejapkan matanya, ia melihat wajah ayahnya, merasakan peringatan darinya. Ia harus melakukan sesuatu untuk melupakan mimpi itu.
Gwen memandang keluar dan melihat matahari pertama baru saja terbit. Ia memikirkan satu-satunya tempat dimana ia dapat mendapatkan kembali ketenangannya: Sungai Kerajaan. Ya, ia harus pergi ke sana.
*
Gwendolyn menceburkan dirinya ke dalam dinginnya air Sungai Kerajaan, menutup hidungnya dan menundukkan kepalanya ke dalam air. Ia duduk dalam sebuah kolam renang kecil alami yang terbuat dari batu, tersembunyi dari mata air yang lebih tinggi. Ia telah menemukan tempat ini dan sering mendatanginya sejak ia masih kanak-kanak. Ia mengangkat kepalanya dari air dan berendam di sana, merasakan dinginnya air menetes dari rambut melewati kulit kepalanya, merasakan air membersihkan dan membasuh tubuhnya yang tanpa busana.
Ia telah menemukan tempat tersembunyi ini pada suatu hari, tersembunyi di tengah pepohonan, tinggi di pegunungan, sebuah lembah di mana arus sungai melambat dan membentuk sebuah kolam dalam dan tenang. Di atasnya, sungai mengalir dan terus mengalir di bawahnya. Di sini, di lembah ini, air terjebak dalam cekungan untuk sesaat. Kolam itu dalam, bebatuannya halus dan tempat itu sangat tersembunyi. Ia dapat mandi tanpa pakaian dengan tenang. Gwen datang ke tempat ini hampir setiap pagi di musim panas, begitu pagi tiba untuk menjernihkan pikirannya. Khususnya di hari seperti saat ini ketika mimpi menghantuinya seperti mimpi-mimpi lainnya, ini adalah salah satu tempat baginya menenangkan diri.
Sangat sulit bagi Gwen untuk menerima bahwa itu hanyalah sebuah mimpi, atau yang lainnya. Bagaimana ia dapat mengetahui ketika sebuah mimpi adalah sebuah pesan, suatu pertanda? Untuk mengetahui apakah ini hanyalah permainan dari pikirannya sendiri ataukah ia sedang diberi kesempatan untuk bertindak?
Gwendolyn mengangkat kepalanya untuk bernafas, menghirup udara di pagi hari yang hangat, mendengar suara kicauan burung di pepohonan sekitarnya. Ia bersandar di bebatuan, tubuhnya masih terendam hingga ke lehernya, duduk di langkan alami dalam air, berpikir. Ia mengangkat tangannya dan memercikkan air ke wajahnya, lalu mengusap rambut stroberinya yang panjang. Ia menunduk menatap permukaan air yang jernih, memantulkan langit dimana matahari kedua baru saja mulai terbit. Pepohonan membayangi air dan wajahnya sendiri. Matanya yang berwarna biru sebesar buah almon memandangi pantulan wajahnya sendiri. Ia dapat melihat ayahnya di kedua mata itu. Ia mengangkat wajahnya dan memikirkan kembali tentang mimpinya.