"Mau kalian bawa ke mana Aidan?" tanya Kyra dengan raut serius, matanya menatap mereka tanpa berkedip.
Mereka terhenti, perlahan raut muka mereka berubah tegang.
"Kami akan membawanya ke mana pun kami mau," kata Brandon.
"Ia akan pergi berburu untuk belajar menjadi seorang laki-laki sejati," ujar Braxton, dengan memperjelas kata-kata terakhirnya untuk menyindir Kyra.
Namun Kyra takkan menyerah begitu saja.
"Ia masih terlalu kecil," balas Kyra tegas.
Brandon memandang dengan masam.
"Kata siapa?" tanyanya.
"Kataku."
"Kau ibunya?" tanya Braxton.
Kyra memerah, ia meradang, berharap ibunya ada di situ sekarang.
"Dan kau pun bukan ayahnya," balas Kyra.
Mereka berdiri di situ dalam kebisuan yang tegang, dan Kyra menatap Aidan yang membalasnya dengan tatapan ketakutan.
"Aidan," tanya Braxton, "kau mau melakukan ini?"
Aidan tertunduk malu. Ia berdiri saja, terdiam, menghindari tatapan mata itu, dan Kyra tahu bahwa Aidan takut berkata-kata untuk membantah kakak-kakaknya.
"Baiklah, jadi itulah yang kau inginkan," kata Brandon. "Ia tak keberatan."
Kyra hanya berdiri dengan gemas, berharap Aidan berani berbicara, namun ia tak dapat memaksanya.
"Rasanya tak baik bila kalian mengajaknya berburu," ujar Kyra. "Badai mulai datang. Pun sebentar lagi malam akan tiba. Banyak bahaya di dalam hutan sana. Jika kalian ingin mengajarinya berburu, ajaklah lain kali saat ia sudah lebih besar."
Mereka kembali merengut karena jengkel.
"Tahu apa kau soal berburu?" tanya Braxton. "Apa yang pernah kau buru, selain pohon-pohon itu?"
"Pernahkah mereka menggigitmu?" imbuh Brandon.
Mereka berdua tergelak dan Kyra semakin marah, apa lagi yang harus ia lakukan. Jika Aidan tak mau menjawab, maka Kyra pun tak bisa apa-apa.
"Kau terlalu khawatir, adikku," tukas Brandon. "Bersama kami, takkan terjadi apa-apa pada Aidan. Kami hanya ingin membuatnya lebih pemberani—bukan membunuhnya. Kau pikir hanya dirimu saja yang peduli padanya?"
"Selain itu, Ayah pun ikut mengawasi," kata Braxton. "Apakah kau ingin mengecewakannya?"
Segera Kyra melihat di balik bahu mereka, di kejauhan, di atas menara yang tinggi, ia melihat ayahnya berdiri di dekat jendela terbuka yang berbentuk melengkung, tengah mengawasi mereka. Ia merasa kecewa pada ayahnya karena tak menghentikan ini semua.
Mereka hendak lewat, namun Kyra berdiri di situ, bergeming mencegat mereka. Mereka kelihatannya hendak merangsek mendorongnya, namun Leo maju di tengah-tengah mereka, menggeram, dan mereka pun mengurungkan niatnya.
"Aidan, ini belum terlambat," kata Kyra padanya. "Kau tak perlu melakukan ini. Maukah kau kembali ke benteng bersamaku?"
Ia mengamati Aidan dan terlihat olehnya mata Aidan berbinar, namun sekaligus tampak pula ketersiksaan di dalamnya. Lama mereka membisu, tanpa sepatah kata pun kecuali bunyi angin yang berdesir dan salju yang menderas.
Akhirnya, adiknya beringsut.
"Aku ingin berburu," ucapnya terbata dan ragu-ragu.
Kakak-kakaknya pun tiba-tiba merangsek ke depan, menabrak bahunya sembari menyeret Aidan, dan saat mereka berjalan cepat menyusuri jalan, Kyra berpaling dan mengamati mereka, dengan rasa muak di perutnya.
Kyra berbalik arah menuju ke benteng dan memandang ke atas ke menara, namun ayahnya tak lagi ada di sana.
Kyra terus mengamati hingga ketiga kakak-beradik itu menghilang dari pandangan, lenyap ditelan badai yang mulai datang, menuju ke Hutan Akasia, dan Kyra merasa sangat kesal. Sempat terpikir olehnya untuk merebut Aidan dan membawanya pulang—namun ia tak ingin mempermalukannya.
Ia tahu bahwa ia harus membiarkan hal ini terjadi—namun ia tak sanggup. Ada sesuatu dalam dirinya yang mencegahnya tinggal diam. Ia merasakan firasat adanya bahaya, terlebih dalam masa perayaan Bulan Musim Dingin seperti ini. Ia tak memercayai kedua kakak laki-lakinya; ia tahu bahwa mereka tak akan mencelakai Aidan, namun keduanya ini sungguh ceroboh dan terlalu kasar. Dan yang paling buruk, kedua kakaknya ini merasa terlalu percaya diri akan kemampuan yang mereka miliki. Itu adalah perpaduan sifat yang buruk.
Kyra tak tahan lagi. Jika ayahnya hanya diam saja, maka ia yang akan melakukannya. Kyra telah cukup umur—ia tak perlu menjawab pertanyaan siapa pun selain menjawab dirinya sendiri.
Maka Kyra bergegas, berlari menyusuri jalan pedesaan yang lengang bersama dengan Leo di sampingnya, dan menuju ke Hutan Akasia.
BAB DUA
Kyra memasuki Hutan Akasia yang suram di sebelah barat benteng, sebuah hutan yang amat lebat hingga sulit untuk melihat ada apa di dalamnya. Ia berjalan menembus hutan bersama dengan Leo, salju dan es bergemeretak di bawah kaki mereka, lalu ia menatap ke atas. Ia merasa kerdil di antara pohon-pohon akasia berduri yang seolah menjulang tinggi tanpa batas. Pohon-pohon hitam itu sudah sangat tua, dengan cabang-cabang yang saling berkelindan mirip duri, serta daunnya yang tebal dan hitam. Ia merasa hutan ini adalah sebuah tempat yang terkutuk; yang ada di sini hanyalah segala rupa nasib buruk. Anak buah ayahnya kembali dalam keadaan terluka setelah berburu di sini, dan entah sudah berapa kali para troll yang berhasil masuk ke Benteng Api bersembunyi di hutan ini dan menjadikannya sebagai tempat persiapan untuk menyerang penduduk desa.
Saat Kyra melangkah masuk ke hutan itu, segera saja ia merasakan hawa dingin yang mencekat. Hutan itu terasa lebih gelap, lebih dingin, udaranya lebih lembap, aroma pohon-pohon akasia tercium kuat, baunya seperti tanah yang membusuk, dan batangnya yang tinggi besar menghalangi berkas-berkas cahaya siang. Dalam kewaspadaannya, Kyra masih merasa geram pada kedua kakaknya. Berkeliaran di dalam hutan ini tanpa pengawalan para pasukan sangatlah berbahaya, terlebih pada senja hari. Setiap suara yang terdengar membuatnya kaget. Lalu terdengarlah suara jeritan hewan di kejauhan, lantas ia tersentak, membalikkan badan dan mencari asal datangnya suara. Namun hutan itu terlalu lebat sehingga ia tak mampu menemukannya.
Tetapi Leo menggeram di sampingnya, dan tiba-tiba berlari menghampiri suara tadi.
"Leo!" panggilnya.
Tetapi serigala itu telah berlalu.
Kyra mendengus kesal; begitulah selalu ulah Leo saat melihat binatang lain. Toh ia yakin, nanti Leo pasti akan kembali lagi padanya.
Kyra pun melanjutkan langkahnya, kali ini sendirian, sementara hutan bertambah gelap dan ia masih terus berusaha mencari jejak saudara-saudaranya—dan sekonyong-konyong ia mendengar suara tawa pecah di kejauhan. Ia memerhatikan, lalu berpaling ke arah datangnya suara dan melewati pepohonan yang lebat hingga menemukan saudara-saudaranya di depan.
Kyra memperlambat langkahnya, menjaga jarak dari mereka agar mereka tak tahu keberadaannya di situ. Ia paham, jika Aidan melihatnya maka ia akan merasa malu dan menyuruhnya kembali. Kyra memutuskan hanya akan mengawasi dengan diam-diam, hanya demi memastikan bahwa mereka semua baik-baik saja. Alangkah lebih baik untuk tidak mempermalukan Aidan, agar ia dapat merasakan dirinya menjadi seorang laki-laki sejati.
Sebatang ranting berderak saat terinjak dan Kyra segera merunduk, khawatir bunyi itu membuatnya ketahuan—namun kedua kakaknya yang mabuk tak menyadarinya, jarak mereka lima belas depa darinya, dan mereka berjalan dengan cepat sehingga bunyi itu tenggelam dalam gelak tawa mereka. Dari gerak-gerik tubuhnya, Kyra tahu bahwa Aidan merasa tegang, bahkan hampir menangis. Ia menggenggam tombak dengan erat, seolah ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia adalah seorang laki-laki, namun genggaman itu terlihat canggung pada tombak sebesari tiu, dan Aidan sendiri kesusahan menahan tombak seberat itu.